suatu kemestian, kumendepani bahangmu persis lelaki pemberani.panah mu yang mendurjana tepat ke jantung siang,. Titis darah pun menitik dari hujung lembar pagi tanpa henti. Ufuk senja pun mewarnai gaun pengantinmu dengan darah.
Seperti perlu aku menyiapkan keakuanku untuk kembali bergabung dengan mu.
Luka siang masih ada
Dan perkelahian itu pun bermula semula seperti biasa…
Thursday, March 24, 2011
Wednesday, January 19, 2011
nyanyian disember
Mendung berlapis mendung
busana senja labuh menghodoh
angin barat meludah-ludah
rumbia sekeping tertanggal
adik berkelahi dengan tangan hujan
kakak di kota tanpa surat kiriman
kolek ayah di geraham gelombang
ibu tangan terketar
ubikayu berguling di pinggan..
busana senja labuh menghodoh
angin barat meludah-ludah
rumbia sekeping tertanggal
adik berkelahi dengan tangan hujan
kakak di kota tanpa surat kiriman
kolek ayah di geraham gelombang
ibu tangan terketar
ubikayu berguling di pinggan..
Friday, August 13, 2010
the another day in somewhere
Aku tak sempat berkelahi dengan matahari. Horizon berdiri dalam mundar-mandir lembayung. Senja yang hodoh tiba-tiba meludah
“Jangan kau padamkan matahariku, aku menunggunya di leher disember menyelesaikan teka-tekinya yang celaka…”
senja kembali menghodoh
dengan wajahnya paling durjana..
“Jangan kau padamkan matahariku, aku menunggunya di leher disember menyelesaikan teka-tekinya yang celaka…”
senja kembali menghodoh
dengan wajahnya paling durjana..
Friday, June 18, 2010
menggesai
Aku menulis puisi pada pekat langit sewaktu kuning bulan bagai lantera menyuluh sisa imlak yang teramat purba. Malam tergantung bagai perawan telanjang, kususuri kelam mencari aksara sakti menyempurnakan bait dan diksi.
Seharusnya aku segera menyudahi sebelum matahari berdiri dibalkoni meludahi..
kuala terengganu.
Seharusnya aku segera menyudahi sebelum matahari berdiri dibalkoni meludahi..
kuala terengganu.
Monday, May 10, 2010
puisi hari ibu
antara lempeng, daun pisang dan kerepek sagu;
sebuah apologi rindu buat ibu.
dari celah gebar banjir yang berlubang kuintip wajah dapur yang kelam
gerombolan asap berkelahi dengan atap nipah; bau garing lempeng di kuali
menyempurna warna pagi dan di tangga ayah di perigi melibas betis berkali
gema surah al waqiah berlaga dengan bunyi gelas pinggan yang terantuk
kecil sanggul siput ibu dan kuntum putih melur berganding dengan aroma
minyak kelapa tanak.
siang berbaris dengan batang-batang pisang di laman. hijau tua daunnya
dengan pisau sebilah dan galah pelepahnya terpancung serong
dalam kelip kedip pelita bersumbu hitam aku kenal antara
kain , tali daun pisang benggala yang tumbuh dalam tulangku.
kuhela tin-tin coklat hitam menakluki kampong selebar tapak tangan
sewaktu daun duku berguguran; rapuh kerepek sagu di palstik
serapuh perjalanan waktu yang dan kasar, mengembang dendamku
tentang kesempurnaan di balkoni Tuhan.
antara lempeng, daun pisang dan kerepek sagu
di situ ada tanganmu yang gigih jitu, ibu
aku jadi sedu rindu…
kuala terengganu
sebuah apologi rindu buat ibu.
dari celah gebar banjir yang berlubang kuintip wajah dapur yang kelam
gerombolan asap berkelahi dengan atap nipah; bau garing lempeng di kuali
menyempurna warna pagi dan di tangga ayah di perigi melibas betis berkali
gema surah al waqiah berlaga dengan bunyi gelas pinggan yang terantuk
kecil sanggul siput ibu dan kuntum putih melur berganding dengan aroma
minyak kelapa tanak.
siang berbaris dengan batang-batang pisang di laman. hijau tua daunnya
dengan pisau sebilah dan galah pelepahnya terpancung serong
dalam kelip kedip pelita bersumbu hitam aku kenal antara
kain , tali daun pisang benggala yang tumbuh dalam tulangku.
kuhela tin-tin coklat hitam menakluki kampong selebar tapak tangan
sewaktu daun duku berguguran; rapuh kerepek sagu di palstik
serapuh perjalanan waktu yang dan kasar, mengembang dendamku
tentang kesempurnaan di balkoni Tuhan.
antara lempeng, daun pisang dan kerepek sagu
di situ ada tanganmu yang gigih jitu, ibu
aku jadi sedu rindu…
kuala terengganu
Sunday, January 10, 2010
penyabung i
Monday, November 16, 2009
berbagi pagi
kelicap, pucuk ubi dan penyair itu menyambut sinar
yang terbias lembut antara celahan bukit yang mengantuk
pada sepasang sayap kelicap berkembang segunung azam
mengetuk langit Tuhan.
pada hijau pucuk ubi menetas klorofil
mencatani fotosentesis kanvas alam
sang penyair sekadar mengucap salam
“wahai matahari yang budiman,
“jangan pergi, biarkan pagi berlalu”
aku sentiasa rindu mengucup alis matamu
yang meranum antara bait puisiku..
yang terbias lembut antara celahan bukit yang mengantuk
pada sepasang sayap kelicap berkembang segunung azam
mengetuk langit Tuhan.
pada hijau pucuk ubi menetas klorofil
mencatani fotosentesis kanvas alam
sang penyair sekadar mengucap salam
“wahai matahari yang budiman,
“jangan pergi, biarkan pagi berlalu”
aku sentiasa rindu mengucup alis matamu
yang meranum antara bait puisiku..
Subscribe to:
Posts (Atom)